Melawan Politik Uang Pada Pemilihan Serentak 2024

Melawan Politik Uang Pada Pemilihan Serentak 2024

ACTANEWS.CO.ID - OPINI, Pemilihan Umum merupakan salah satu instrumen terpenting dalam sistem politik demokrasi modern. Pemilihan Umum juga telah menjadi barometer untuk menentukan suatu negara menganut sistem demokrasi atau tidak. Masyarakat internasional juga sebagian besar telah menyepakati bahwa suatu negara tidak dikategorikan sebagai negara demokratis apabila tidak melaksanakan Pemilu (Arsyad dan Megawati, 2016).

Selain itu, Pemilu juga dilaksanakan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat, sebab rakyat tidak dimungkinkan untuk memerintah secara langsung, sehingga perlu diatur sebuah skema yang dapat memilih perwakilan rakyat untuk menjalankan pemerintah dalam jangka waktu tertentu sebagaimana berdasarkan Undang Undang 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu Pasal 1 yang menyebutkan Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

Dewasa ini rakyat memiliki kedaulatan yang utuh karena telah dapat secara langsung memilih pemimpin baik yang di legislatif maupun di eksekutif. masyarakat telah secara langsung terlibat dalam memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan juga Pemimpin di tingkat provinsi dan daerah dalam skema Pemilihan yang berdasarkan Undang Undang nomor 6 Tahun 2020 Pasal 3 disebutkan Pemilihan dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. dan Pemilihan yang dimaksud adalah Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut dengan Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis yang tertuang pada Undang Undang Nomor 8 Tahun 2015.

Salah satu tantangan pada Pemilihan adalah maraknya praktik politik uang. praktik politik uang pada Pemilihan merupakan salah satu faktor penyebab proses Demokrasi berbiaya tinggi (Dwipayana, 2009). Setiap orang mengetahui bahwa kasus politik uang adalah hal yang jamak dalam Pemilu setelah Reformasi, namun jika ditanya dan dikonfirmasi mereka akan menjawab tidak terlibat dalam politik uang (Kumorotomo, 2009). Politik uang juga telah menjadi mata rantai terbentuknya proses demokrasi menjadi kartel politik (Dhakidae, 2011). Proses Demokrasi yang mengandalkan voter (suara) dengan mudahnya diubah menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan, dijual dan dibeli dengan segala macam cara.

Terdapat perbedaan perlakuan terhadap politik uang pada Pemilihan Umum dan Pemilihan, perbedaan tersebut tertuang jelas pada Undang - Undang Nomor 7 Tahun 2017 dan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2020.

Pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 515 menyatakan “Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak 36 juta “. Selanjutnya dalam Pasal 523 menyatakan Ayat (1) “Setiap pelaksana, peserta, dan/ atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.24.000.000 (dua puluh empat juta rupiah)”. Ayat (2) “Setiap pelaksana, peserta dan/ atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja pada masa tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada pemilih secara langsung maupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam pasal 278 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp.48.000.000 (empat puluh delapan juta rupiah)”. Ayat (3) “Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih peserta pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 36.000.000 (tiga puluh enam juta rupiah)”. Pada Pemilihan Umum ketentuan larangan dan sanksi pidana terhadap praktik politik uang dibedakan berdasarkan waktu kejadian yaitu peristiwa politik uang yang terjadi pada saat kampanye, pada masa tenang dan pada hari pemungutan suara. Lamanya ancaman sanksi pidana penjara dan denda yaitu berkisar antara paling lama 2 tahun dan denda 24 juta sampai dengan paling lama 4 tahun dan denda 48 juta dan pihak yang dijatuhi sanksi pidana penjara dan denda adalah pihak pemberi.

Pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang pada Pasal 73 menyatakan, Ayat (1) “Calon dan/ atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/ atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan dan/ atau pemilih”. Ayat (2) “Calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi dapat dikenai sanksi administrasi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU Prov atau KPU Kab/Kota”. Ayat (3) “Tim Kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Ayat (4) “Selain calon atau pasangan calon, Anggota Partai Politik, tim kampanye, dan relawan , atau pihak lain juga dilarang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada WNI baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk : a. mempengaruhi pemilih untuk tidak menggunakan hak pilih. b. menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga mengakibatkan suara tidak sah; dan c. mempengaruhi untuk memilih calon tertentu atau tidak memilih calon tertentu”. Dan ketentuan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 187 A menyatakan Ayat (1) “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada WNI baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000. (satu milyar rupiah)”. Ayat (2) “Pidana yang sama diterapkan kepada Pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. Pada Pemilihan/Pilkada ketentuan larangan dan sanksi pidana terhadap praktik politik uang diatur dengan lebih berat, dengan adanya ketentuan minimal pidana (bukan paling lama) yaitu pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 6 tahun dan denda paling sedikit 200 juta dan paling banyak 1 milyar. Sedangkan pihak yang dijatuhi sanksi pidana penjara dan denda adalah pemberi dan penerima.

Politik uang adalah upaya mempengaruhi perilaku orang lain dengan menggunakan imbalan tertentu. Ada yang mengartikan politik uang sebagai tindakan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan. Tindakan ini bisa terjadi dalam jangkauan (range) yang lebar, dari pemilihan kepala desa sampai pemilihan umum suatu negara (Ismawan, 1999). Politik uang juga merupakan sebagai suatu suatu upaya mempengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga diartikan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan dan tindakan membagi-bagikan uang baik milik pribadi atau partai untuk mempengaruhi suara pemilih (Juliansyah, 2007). Politik uang merupakan tindakan yang disengaja oleh seseorang atau kelompok dengan memberi atau menjanjikan uang atau hal lainnya kepada pemilih agar menggunakan hak pilih untuk memilih calon tertentu atau tidak menggunakan hak pilihnya untuk memilih calon tertentu.

Praktik politik uang yang mulai dianggap lumrah di masyarakat adalah dampak dari terbiasanya masyarakat dari praktik politik uang di setiap kontestasi politik yang hal tersebut tentu saja berdampak buruk bagi proses demokrasi. Para kandidat yang melakukan praktik politik uang telah menjadikan masyarakat sebagai objek politik karena menganggap suaranya dapat dibeli, yang kemudian menyebabkan tidak ketidakmandirian masyarakat dalam menentukan pilihannya atau calon pemimpin yang akan dipilih karena secara tidak langsung praktik politik uang telah mempengaruhi kedaulatan rakyat dalam memberikan suaranya dengan bebas karena telah terikat pada proses jual beli diawal, dan dampak terburuk dari praktik politik uang adalah menghilangkan sikap kritis masyarakat pada kekuasaan, pemilik suara yang merasa telah dibeli suaranya maka akan apatis terhadap kebijakan yang diterapkan sehingga berpotensi menimbulkan perilaku korupsi. 

Menghapuskan praktik politik uang pada setiap kontestasi politik memang tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak mungkin, menjadi pemilih yang berdaulat atas hak suara yang dimiliki dalam menentukan pilihan tanpa ada tekanan atau pengaruh politik uang merupakan sebuah upaya untuk menciptakan demokrasi yang berintegritas. (RA)


Penulis: Nirmala Sudarti, S.Pd., M.Pd, Ketua Panwaslu Kecamatan Bone Bone

Leave a Reply

Cancel Reply

Your email address will not be published.

Ikuti kami

VOTE UNTUK KAMI

vote-image

Apakah anda menyukai actanews ???

99%
0%
0%

Kategori Teratas

Komentar Terbaru

  • user by Anonymous

    Dari cara tulis artikel ini aja udah nyudutin org puskesmasnya, seakan-akan nakes puskesmas yg kerjanya ngga becus. Jelas-jelas dari penjelasan si mbak di atas nakesnya udah sesuai SOP. Kalo mau nulis, tambahin lah kritik pemerintah 1 puskes megang banyak desa, fasilitas sarpras ngga memadai. Selain itu, kalau masih ada keluarga pasien nolak rujuk tapi ngga mau ttd informed consent, artinya BPJS pun kurang terkait edukasi ke pemegang premi tentang alur rujukan plus hak & kewajiban sebagai pasien. Artikel ini bagus karena menaikan isu vital ketimpangan layanan kesehatan di perifer, namun sayangnya menitikberatkan permasalahan bukan ke akarnya. Semangat nomor satu, Puskesmas Rampi. I stand with you guys. Salam dari UK

    quoto
  • user by ADMIN ACTANEWS

    Terima kasih atas tanggapan yang telah disampaikan. Kami menghargai pengakuan atas kritik yang kami berikan dan mohon maaf jika ada ketidaknyamanan. Kami memahami bahwa tim medis menghadapi banyak tantangan dan kami menghormati upaya yang telah dilakukan. Namun, harapan kami adalah agar pelayanan kesehatan dapat ditingkatkan lebih lanjut, terutama dalam hal respons terhadap kebutuhan masyarakat. Kami juga setuju bahwa pendidikan dan pengembangan tenaga kesehatan lokal sangat penting. Dengan kolaborasi yang baik antara puskesmas dan masyarakat, kami yakin pelayanan kesehatan di Kecamatan Rampi dapat diperbaiki. Mari kita terus berdialog demi kebaikan bersama.

    quoto
  • user by ADMIN ACTANEWS

    Terima kasih atas informasi yang telah disampaikan. Saya sangat menghargai kepedulian kalian terhadap masalah ini. Pelayanan kesehatan yang baik adalah hak semua masyarakat, dan situasi ini jelas perlu perhatian serius. Mari kita dorong pihak berwenang untuk segera melakukan evaluasi dan memperbaiki sistem agar kejadian serupa tidak terulang. Suara masyarakat sangat penting dalam menciptakan perubahan.

    quoto

Harap Terima Untuk Performa Informasi Lebih Baik