ACTANEWS.CO.ID -OPINI, Judi online saat ini masih menjadi perbincangan hangat dikalangan masyarakat. Berawal dari sebuah kasus seorang istri membakar suami akibat judi online, kemudian pemerintah berinisiatif mengeluarkan sebuah kebijakan yaitu akan memberikan ‘Bantuan Sosial’ (Bansos) buat penjudi online yang disebut sebagai “Korban”.
Dari kebijakan tersebut, apakah hal itu adalah sebuah solusi untuk memberantas korban Judi Online? Apakah akan menambah korban? Mengapa harus diberi bansos buat seorang yang sudah tahu hal itu tidak berfaedah dan melanggar Undang-Undang? Begitulah komentar dari rakyat kecil kepada sang pencipta kebijakan.
Kemudian pada tanggal 17 Juni 2024, pemerintah pun memberi penjelasan di media bahwa korban yang dimaksud adalah keluarga penjudi atau individu terdekat yang dirugikan, sedangkan Pelaku merupakan Penjudi dan Bandar. Pemerintah juga mengungkapkan bahwa sesuai UUD pasal 34 ayat 1 bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara, hal itulah menjadi alasan memberikan bantuan untuk para korban judi online.
Jika melihat dari sisi positif, kebijakan tersebut memanglah masuk akal, akan tetapi itu bisa menimbulkan sebuah doktrin kepada para penjudi untuk tidak khawatir jatuh miskin. Selain itu, rakyat pun yang awalnya tergiur ingin berjudi tapi masih takut, menjadi berjudi karena merasa ada bansos penolong dari negara.
Bukankah berjudi menjadikan seseorang bersifat adiktif? berarti para korban akan terus bertambah karena para pelaku menjadi lebih berani dan berharap tinggi untuk mengadu nasib pada “Perjudian”.
Hal ini menjadi kebijakan yang lumayan konyol, karena negara harus mengeluarkan uang bermiliyar-miliyar khusus buat korban Judi. Dikutip dari Badan Pusat Statistik jumlah penduduk miskin Tahun 2023 di Indonesia berjumlah 25,90 juta orang dan jumlah pengangguran tahun 2024 sebanyak 93,27 juta orang. Lantas? Bukankah sudah dari dulu korban judi masuk terdaftar menjadi penduduk miskin? Bahkan orang miskin yang tidak melakukan perjudian pun masih miskin, dan mungkin saat ini yang menganggur masih menganggur karena tingginya standart dan sempitnya lapangan pekerjaan. Ada apakah yang terjadi? Mengapa rakyat miskin menjadi seperti dikelompokkan? Miris! tapi itulah kenyataan yang terjadi.
Banyaknya hak suara dan pendapat untuk bebas menyampaikan arti kemanusiaan yang adil dan beradab hingga keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tetapi suara-suara itu bergantung pada sang pemegang kekuasaan kebijakan. Maka dari itu, semoga diera digital ini, rakyat Indonesia tetap semangat bersatu dan waras untuk menyampaikan hak dan kewajiban sesuai UUD 1945. Kedepannya mungkin rakyat pun berharap pemimpin negeri selanjutnya bisa memperbaiki negara ini dan berusaha untuk memahami suara rakyat dengan baik sampai sejahtera. Aaamiin... (GG)