KSA, actanews.co.id - Ada yang sangat berkesan sekaligus menantang ketika kami ditugaskan oleh Ketua Tim Monev Haji 2024 untuk ikut dalam tim pemantauan pergerakan jamaah haji dari Arafah ke Muzadalifah.
Pendorongan jamaah dari Arafah dimulai sekitar jam 8 malam. Kami mendahului pergerakan jamaah dengan menumpang mobil operasional Direktur Bina Haji Kementerian Agama.
Muzdalifah adalah salah satu titik penting dari tiga titik pergerakan haji yang sering disebut Armuzna (Arafah, Muzdalifah dan Mina). Di antara ketiga titik ini, bisa saja yang paling membutuhkan perhatian ekstra dalam pengaturan pergerakan jamaah adalah pada titik Muzdalifah.
Alasannya, bermalam atau berdiam (mabit) di Muzdalifah memikili waktu yang terbatas dan tempat yang terbatas pula. Berbeda dengan di Arafah, wukuf meskipun berlangsung satu hari, yakni 9 Zulhijjah, namun jamaah sudah tiba pada malam sebelumnya dan panjangnya waktu-waktu persiapan. Demikian pula dengan mabit di Mina, ada waktu pengaturan jamaah selama berada di sana, karena ada tiga malam atau disebut malam-malam "tasyriq."
Mabit di Muzdalifah waktunya hanya satu malam, malam 10 Zulhijjah. Bukan hanya waktu yang terbatas tetapi kawasannya-pun terbatas, Muzdalifah memang dikenal sempit. Dengan keterbatasan dua hal ini, mengharuskan bagi penyelenggara haji mengatur sedemikian rupa, agar mabit bisa dilakoni dengan lancar dan jamaah yang jumlahnya ratusan ribu bisa terakomodir.
Memantau langsung pergerakan jamaah memunculkan "kengerian" tersendiri. Betapa tidak, kawasan untuk jamaah haji Indonesia luasnya hanya sekitar 8 hektar persegi, dan sudah dibangun fasilitas toilet yang mengambil tempat sekitar 2 hektar, jadi yang bisa ditempati jamaah untuk mabit hanya sekitar 6 hektar persegi. Bisa dibayangkan tempat sesempit itu menjadi arena berkumpul 240 ribu jamaah, jamaah haji terbesar dalam sepanjang sejarah pelayanan haji Indonesia. Jadi rata-rata ruang yang bisa ditempati per jamaah kurang dari 30 cm.
Bagaimana proses mobilisasi jamaah sebanyak itu? Beruntung penyelenggara terbantu oleh jamaah Haji yang mengambil "murur," yaitu yang punya udzur atau halangan tertentu, bisa yang dikendarai cukup melintas saja di Muzdalifah tanpa harus berdiam di sana. Jumlah yang melakukan "murur" diperkirakan lebih dari 50 ribu jamaah. Hal ini bisa dipahami karena proritas haji masih pada jamaah lansia, dan pendamping lansia juga sudah dimasukkan pada kategori yang punya udzur.
"Murur' inilah yang menjadi faktor penentu bagi lancarnya mobilisasi jamaah haji dari Arafah ke Muzdalifah dan pengosongan jamaah di Muzdalifah yang setelah disisir oleh tim, lokasinya sudah 100 persen bersih tepatnya pukul 07.30 pagi.
Jadi dengan menjadi pemantau, saya melihat bagaimana lokasi Muzdalifah yang kosong, secara berproses diisi kurang lebih 180 ribu jamaah, lalu pada saat lewat tengah malam, jamaah dengan jumlah besar tersebut secara berproses kembali dikosongkan untuk diangkut ke Mina. Proses itu terjadi di depan mata saya. Dan bersyukur, jamaah sudah terdorong 100 persen ke Mina tepatnya pada pukul 07.30 pagi.
Berkaca dari tugas pemantauan ini, saya semakin yakin bahwa Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, memiliki tugas berat setiap tahunnya terkhusus untuk memastikan bahwa pergerakan di Muzdalifah bisa terantisipasi. Dari misi suci ini, Kemenag sepatutnya perlu didukung dari segala arah. Kebijakan "murur" sudah saatnya lebih dimapankan pada pelaksanaan haji berikutnya.
Yang sangat patut disyukuri bahwa jamaah haji Indonesia yang menjadi bagian utama dari lautan manusia, telah memperlihatkan kepatuhan, dan memainkan peran mabit dengan "mendiamkan" jiwa dan raganya sehingga kompleksitas Muzdalifah bisa terlajani dengan lancar.
Muzdalifah sendiri memang bermakna pertemuan, bisa juga mungkin bermakna mengkompromikan ego. Jadi yang suka berkompromi sesungguhnya, dalam jiwanya sudah tertancap semangat Muzdalifah, dan bagi yang sebaliknya kita beri judul "missing the spirit of Muzadalifah." (RA)