ACTANEWS.CO.ID, -OPINI, Saya mengawali dengan menegaskan bahwa dalam hidup ini, saya mulai tersentuh oleh pelatihan yang serius atau sering disebut pengkaderan dari sebuah organisasi yang bernama Ansor.
Mungkin berbeda dengan yang lain, saya dua kali mengikuti pengkaderan dasar di Ansor. Pertama, saya ikut duduk setia selama pengkaderan dasar di kampung saya di Bone. Saat itu, markas Ansor Bone adalah sebuah asrama tempat saya menumpang, ikut sama paman yang kuliah di kota. Saya takjub dengan materi pengkaderannya, terutama materi dari (alm.) Syukur Saban yang sengaja didatangkan khusus dari Makasar. Namun saya tidak diberi sertifikat, karena saya belum cukup umur untuk menjadi anggota resmi Ansor.
Tahun berikutnya, saya ikut kembali pengkaderan dasar yang dilakukan oleh Ansor Bone. Syukur Saban kembali diundang datang sebagai narasumber kunci. Saya lebih antusias karena panitia mengatakan saya sudah bisa mendapatkan sertifikat, meskipun saya belum berusia 20 tahun. Sertifikat itu masih tersimpan dengan rapi sampai sekarang pada kumpulan dokumen penting saya.
Itulah sekelumit kisah ke 'Ansor'an dalam hidup saya. Fase hidup saya berikutnya, saya migrasi ke kota besar, Makassar untuk memulai kuliah. Saya tidak lagi sering mendengar nama Ansor di sekitar saya meskipun dari sayup-sayup. Saya tahu Ansor adalah organisasi pemuda, bukan organisasi ekstra kampus, tapi tetap tidak bisa mengenal banyak orang yang berasal dari Ansor.
Secara perlahan saya tersadar bahwa saat itu di lingkungan sekitar saya, Ansor belum menjadi organisasi pemuda idaman. Ansor bukan pilihan utama pemuda Muslim khususnya yang berlatar belakang keluarga Nahdiyyin. Saya belum melihat daya pikat yang dihadirkan oleh Ansor sebagai wadah pengkaderan pemuda Muslim. Ansor belum menjadi organisasi pemuda yang bisa menghadirkan rasa percaya diri bagi yang bergabung. Pemuda dari keluarga kelas menengah Muslim nyaris tidak melirik Ansor.
Lalu saya melompat melihat dengan apa yang terjadi pada perkembangan Ansor belakangan ini? Ansor rupanya berhasil melakukan "revolusi" wajah. Ansor tumbuh menjadi ormas pemuda yang "seksi". Ansor sukses menghadirkan "reputasi". Keanggotaannya semakin menarik hati pemuda muslim dari berbagai kalangan.
Tidak pernah membayangkan bahwa Ansor yang saya alami dahulu akan menjadi Ansor yang disegani seperti hari ini. Pemuda Nahdiyyin begitu berbangga menjadi bagian dari Ansor. Anak-anak muda bahagia berteman dengan para aktifis Ansor. Birokrat dan politisi muda banyak yang berasal dari jebolan Ansor. Ansor tidak lagi ditemukan di pasar tradisionil tetapi juga di mall besar. Ansor tidak lagi rapat di ruang-ruang sempit tetapi di hotel berbintang.
Apa yang bisa dibaca dari transformasi Ansor yang begitu masif? Pertama, jejak Bansernya berupa kerja kemanusiaan semakin memikat hati masyarakat. Banser menjadi harapan umat. Banser bisa memberikan ketenangan dan kenyamanan beraktifitas masyarakat. Kedua, Ansor berhasil melakukan gerakan intelektualisasi para aktivisnya. Efeknya, ansor aktif melakukan penyebaran gagasan bagi penguatan kebangsaan dan keumatan. Ansor bergerak bukan semata menjadi Badan Otonom NU pada bidang kepemudaan dan kemasyarakatan, tetapi juga keintelektualan. Aktifis Ansor sudah begitu akrab dengan ruang-ruang seminar. Dengan gerakan intelektualisme, aktivisnya begitu muda ditemukan dalam lintas disiplin keilmuan yang berefek pada lahirnya birokrat, pengusaha, dan pemikir yang berlatar belakang Ansor.
Transformasi masif inilah yang secara dramatis terjadi sepuluh tahun terakhir ini di bawah kepemimpinan Gus Yaqut Cholil Qoumas. Singkatnya, Gus Yaqut berhasil menghadirkan wajah Ansor yang penuh percaya diri, Ansor yang memiliki "prestise" yang diraih dari ragam "prestasi". Warga Ansor selayaknya berterima kasih kepada kepemimpinan transformatif yang dihadirkan oleh Gus Yaqut. Dan tugas ketua umum terpilih adalah memastikan raihan Ansor saat ini bisa tetap berlanjut. Ketua Umum Ansor terpilih sejatinya akan memastikan peta jalan NU masa depan, seiring dengan transformasi Ansor yang memang sangat layak menjadi masa depan gemilang NU.
Sebagai akademisi, saya melihat tantangan ke depan, bagaimana intelektualisasi di tubuh Ansor terus bergelora berhadapan dengan era ketidakpastian. Ansor berpeluang untuk menelusuri peta Jalan NU masa depan, tapi Ansor pasca kepemimpinan Gus Yaqut berpeluang untuk "stagnan" bahkan "setback" bila kepemimpinan baru tidak mengelola dengan baik modal jejaring yang sudah sangat rapi dibangun oleh Gus Yaqut. Tantangan sistim kader Ansor sejatinya lebih antisipatif terhadap masa depan keumatan atau bersifat futuristik. Termasuk bisakah memastikan bahwa saya adalah warga Ansor? Dikader sebelum cukup usia, dan ingin kembali dikader setelah lewat usia. (RA)