ACTANEWS.CO.ID - OPINI, Demokrasi merupakan sistem politik yang memberikan ruang bagi keadilan dan persamaan bagi semua warga negara. Demokrasi adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat. Demokrasi juga diartikan KBBI sebagai gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara. Ciri paling mendasar dari negara demokrasi adalah adanya pemilihan umum, meskipun pemilihan umum bukan satu – satunya aspek dalam demokrasi namun pemilihan umum merupakan salah satu aspek yang sangat penting, karena pemilu berperan sebagai mekanisme perubahan politik mengenai pola dan arah kebijakan publik dan/ atau mengenai sirkulasi elit secara periodik dan tertib (Surbakti, 2018).
Parameter pemilu yang demokratis ditandai dengan integritas proses penyelenggaraan pemilu dan integritas hasil pemilu (Suswantoro, 2016). Penyelenggaraan pemilu yang berintegritas dapat dicapai jika semua tahapan pemilu diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti Undang - Undang Pemilu dan Peraturan KPU. Semua ketentuan baik Undang - Undang Pemilu dan turunannya yang tertuang dalam Peraturan KPU tidak boleh menyimpang dari asas Luber dan Jurdil sebagaimana yang telah tertuang pada Undang-Undang 7 Tahun 2017 pasal 2 tentang asas pemilu yaitu langsung, umum, bebas rahasia, jujur dan adil. Adapun pengertian Luber dan Jurdil (Bawaslu, 2015) adalah sebagai berikut:
Langsung berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan;
Umum berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak untuk menggunakan suara;
Bebas berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun;
Rahasia berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia, hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri;
Jujur mengandung arti bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya, dan setiap suara pemilih memilki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih;
Adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan atau diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih atau peserta pemilu, tetapi juga kepada penyelenggara pemilu.
Eksistensi dari lembaga pengawas pemilu seperti Bawaslu, sebagaimana telah diamanatkan oleh undang-undang adalah untuk memastikan parameter pemilu yang demokratis baik dalam proses maupun hasil pemilu serta asas pemilu dapat berjalan dengan baik.
Indonesia pertama kali melaksanakan pemilu pada tahun 1955, pada waktu itu belum dikenal istilah pengawasan pemilu karena telah terbentuk kepercayaan (trust) antara peserta pemilu dan seluruh warga negara kepada penyelenggara pemilu yang pada saat itu dimaksudkan untuk membentuk Dewan Parlemen yang disebut dengan Dewan Konstituante. Pengawasan pemilu baru muncul dalam pelaksanaan pemilu pada tahun 1982, dikenal dengan nama Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum (Panwaslak Pemilu), yang pembentukannya dilatarbelakangi oleh ketidakpercayaan terhadap pemilu yang dianggap telah di”setting” oleh kekuatan rezim penguasa (Bawaslu RI, 2017). Pada tahun 1987 terjadi protes terhadap pelanggaran dan kecurangan sehingga pemerintah dan DPR yang pada saat itu didominasi oleh Golkar dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia merespon hal ini dengan gagasan untuk memperbaiki undang - undang yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pemilu berikutnya. Pemerintah juga mengenalkan adanya badan baru yang akan terlibat dalam setiap proses tahapan Pemilu sebagai pendamping Lembaga Pemilihan Umum (LPU).
Pada era reformasi, tuntutan untuk pemilu yang jujur dan adil semakin tinggi, hal ini dibuktikan dengan kuatnya legal formal pembentukan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mulai ditingkat Pusat, ditingkat Provinsi hingga ditingkat Kabupaten/Kota yang awalnya berstatus adhoc kemudian berubah menjadi permanen (Suswantoro, 2016). meskipun Bawaslu telah dibentuk mulai dari tingkat Pusat, tingkat Provinsi, tingkat Kabupaten/ Kota dan di tingkat Kecamatan dan Desa yang berbentuk adhoc, namun dalam penyelenggaraannya masih ditemui berbagai pelanggaran baik yang dilakukan oleh peserta, partai politik, birokrasi, masyarakat maupun penyelenggara pemilu, sehingga pemilu dinilai kurang berintegritas dan kurang demokratis. Berdasarkan Undang - Undang No. 7 Tahun 2017 pasal 101 mengamanatkan kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai badan yang bertugas mengawasi proses demokrasi mulai dari Pemilihan Legislatif (PILEG), Pemilihan Kepada Daerah (PILKADA), dan Pemilihan Presiden (PILPRES), namun Bawaslu sebagai badan formal yang juga bertugas melakukan pengawasan seluruh proses tahapan penyelenggaraan pemilu masih mengalami berbagai kendala sehingga sangat penting untuk melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan masyarakat dalam melakukan proses pengawasan, dan dengan dilibatkannya stakeholder serta masyarakat secara independen dalam mengawasi penyelenggaraan Pemilu dapat meminimalisir konflik atas kepercayaan integritas proses dan hasil pemilu, meningkatkan legitimasi kepemimpinan politik, serta diharapkan proses pemilu yang demokratis dapat terwujud.
Terselenggaranya pemilu yang berkualitas tentu menjadi cita-cita seluruh warga negara, selain itu pemilu yang berkualitas juga menjadi gambaran kualitas demokrasi di negara tersebut, dan salah satu faktor penyebab terwujudnya pemilu yang demokratis adalah masyarakat, yakni dengan melakukan pengawasan partisipatif. Pengawasan partisipatif dimaksudkan untuk menyampaikan pesan kepada seluruh pihak yang terlibat dalam pemilu dan masyarakat pada umumnya agar lebih peduli terhadap setiap proses pemilu (Bawaslu, 2022).
Berangkat dari hal diatas yang kemudian menjadi penyebab pentingnya pengawasan partisipatif untuk digalakkan, diantaranya: pertama pemilu adalah pesta demokrasi yang merupakan hajat milik rakyat sehingga setiap proses di tiap tahapan juga harus ikut dikawal oleh rakyat agar pemilu terselenggara sesuai peraturan perundang - undangan yang berlaku. Kedua, ekspektasi masyarakat yang sangat tinggi terhadap proses pemilu dan hasil pemilu yang demokratis dan berintegritas sehingga dibutuhkan keterlibatan berbagai pihak pemangku kepentingan dan masyarakat dalam pengawasan pemilu sesuai dengan peran dan fungsinya masing - masing. Ketiga, meskipun telah terbentuk Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mulai dari tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/ Kota, dan di tingkat Kecamatan, Kelurahan/Desa, TPS yang berstatus adhoc, terbatasnya jumlah personel pengawas pemilu jika dibandingkan dengan kompleksitas pelanggaran pemilu yang makin beragam secara kuantitatif dan luas wilayah pengawasan maka pengawasan partisipatif menjadi salah satu upaya dalam mewujudkan pemilu yang demokratis.
Pada akhirnya, pengawasan partisipatif diharapkan dapat membantu masyarakat sebagai pemilih menjadi pemilih yang kritis dan sadar dalam menentukan preferensi politik. Selain itu pengawasan partisipatif diharapkan dapat menjadi modal penting untuk mewujudkan pemilu yang demokratis dan berintegritas. Jika pengawasan partisipatif ini dilaksanakan secara berkesinambungan dan sungguh-sungguh, diharapkan masalah yang ada dalam penyelenggaraan pemilu dapat dicegah serta diminimalisir sehingga dapat terwujud pemilu yang demokratis.
-
-
-
-
-
-
-Daftar Pustaka
Bawaslu, (2015). Bimbingan Teknis bagi Bawaslu Provinsi dalam rangka Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Tahun 2015. http://ppid.bawaslu.go.id. diakses 5 Mei 2023
Bawaslu, (2017). Panduan Pusat Pengawasan Partisipatif, https://www.bawaslu.go.i. diakses 7 Mei 2023.
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Surbakti, R. dkk. (2008). Perekayasaan system pemilihan umum: untuk pembangunan tata politik demokratis. Jakarta: Kemitraan bagi Tata Pemerintahan di Indonesia.
Suswantoro, G. (2016). Pengawasan Pemilu Partisipatif. Penertib: Erlangga.
UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. (RA)
Komentar
Tuliskan Komentar Anda...!