Pejabat Tak Amanah, Ancaman Terjadi Pembangkangan Sipil, Oleh: Sigit Nugroho

|

25 Views

ACTANEWS.CO.ID – OPINI, Kemarahan publik bukan sekadar luapan emosi sesaat. Data per 2 September 2025 mencatat 10 warga sipil tewas, 3.337 ditangkap, 1.042 luka-luka, dan 32 hilang dalam gelombang demonstrasi—13 di antaranya ditemukan di kantor polisi Jakarta. Di Palopo, dua warga ditetapkan tersangka atas pengerusakan Kantor DPRD, dengan polisi mengklaim pelaku dijanjikan Rp400 ribu. Ini bukan sekadar penolakan terhadap tunjangan DPR. Ini adalah jeritan rakyat yang muak dengan janji kosong, suara yang diabaikan, dan ketimpangan yang mencabik nurani. Parahnya, di tengah gejolak sosial, video anggota DPR joget-joget di acara hiburan viral di media sosial, memicu kemarahan publik karena dianggap tak peka terhadap penderitaan rakyat.

Ketimpangan: Bahan Bakar Amarah Publik

Kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia melonjak dua kali lipat dalam enam tahun, namun kontribusi pajak mereka minim. Sementara itu, rakyat kecil tercekik pajak hingga sesak. Laporan LHKPN 2024 mencatat harta pejabat publik naik dari Rp19,57 triliun menjadi Rp21,32 triliun dalam setahun, dengan rata-rata harta menteri Rp426 miliar—671 kali lipat lebih kaya dari rakyat biasa. Di tengah PHK massal, harga kebutuhan pokok melambung, dan lapangan kerja menyusut, elit justru menimbun harta. Di Palopo, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Agustus 2024 mencapai 7,64%, naik dari tahun sebelumnya. Harga beras premium di Palopo bahkan sempat menyentuh Rp18.000/kg. Tragisnya, tekanan ekonomi diduga mendorong seorang ibu di Bandung menghabisi nyawa anak-anaknya sebelum bunuh diri. Ketidakadilan ini bukan sekadar angka; ini pemicu ledakan sosial.

Kabinet Gemuk, Legitimasi Rapuh

Kabinet Merah Putih di bawah Presiden Prabowo Subianto, dengan 48 menteri dan 56 wakil menteri, mencetak rekor sejak Orde Baru. Namun, kuantitas tak menjamin kualitas. Kontroversi menyeruak: dugaan penyalahgunaan kop surat kementerian, pernyataan meremehkan peristiwa 1998, hingga ucapan pejabat yang memicu polemik budaya. Di Palopo, 39 OPD dinilai terlalu gemuk, memicu usulan perampingan menjadi 24 OPD pada 2026. Kabinet yang seharusnya menjadi pilar kepercayaan justru memperlebar jurang ketidakpercayaan, diperparah dengan sikap anggota DPR yang asyik joget sementara rakyat menjerit.

Penghargaan Kontroversial: Menghormati Koruptor?

Penganugerahan Bintang Republik Indonesia kepada 141 tokoh, termasuk eks-koruptor, adalah tamparan bagi keadilan. UU No. 20 Tahun 2009 menyebut penghargaan ini untuk “laku luar biasa,” tetapi menghormati terpidana korupsi terasa seperti pengkhianatan terhadap hukum dan moral. Rakyat bertanya: apakah ini penghargaan atas jasa, atau pengakuan atas skandal?

Korupsi di Layanan Publik: Mengkhianati Amanah

Korupsi di sektor layanan publik semakin memperdalam krisis kepercayaan. Di berbagai daerah, termasuk Palopo, anggaran untuk layanan dasar seperti air bersih, kesehatan, dan pendidikan sering kali diselewengkan. Dana yang seharusnya meningkatkan kualitas hidup rakyat justru mengalir ke kantong pejabat melalui proyek bermasalah, penggelembungan biaya, atau penyalahgunaan wewenang. Di tingkat nasional, laporan KPK menunjukkan bahwa sektor layanan publik, seperti pengadaan alat kesehatan dan infrastruktur dasar, menjadi ladang korupsi dengan kerugian negara mencapai triliunan rupiah setiap tahun. Praktik ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menghambat akses masyarakat terhadap hak dasar mereka, memperparah kemiskinan dan ketimpangan.

KKN di Palopo: Nepotisme, Korupsi, dan Proyek Mangkrak

Di tingkat lokal, dugaan kolusi dan nepotisme di Perumda Air Minum Tirta Mangkaluku (PAM TM) Palopo memicu kemarahan. Keluarga direksi—anak, menantu, hingga ponakan—diperkerjakan tanpa prosedur transparan. Aset yang dibiayai pelanggan dicatat sebagai aset perusahaan, sementara aset dari APBD/APBN tidak dibukukan. Meski PAM TM meraih predikat BUMD terbaik di Sulawesi Selatan, keluhan pelanggan soal distribusi, kualitas, dan tagihan air terus mengalir. Tarif progresif diterapkan, memaksa pelanggan membayar sekalipun tak menggunakan air. Meski direksi menargetkan laba Rp4,9 miliar pada 2025, capaian ini tak mampu menutupi layanan buruk dan tuduhan KKN. Baru-baru ini, warga Palopo melaporkan dugaan korupsi direksi PAM TM ke polisi setempat, menyoroti penyalahgunaan wewenang dalam perekrutan dan pengelolaan aset. Laporan ini, yang diajukan berdasarkan bukti awal seperti dokumen internal dan kesaksian pelanggan, menuntut penyelidikan mendalam untuk mengungkap praktik yang merugikan masyarakat.

Lebih parah, proyek mangkrak di Palopo menjadi bukti nyata kegagalan pengelolaan anggaran. Seperti, proyek revitalisasi Stadion Lagaligo memakan Rp 19,5 Miliar, Gedung kesenian Rp. 6,9 Miliar, kini terbengkalai. Proyek normalisasi sungai dan pembangunan talud senilai Rp30 miliar tahun 2024. Kasus ini, melibatkan rekanan yang mengerjakan. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dari Dinas PUPR Palopo, sampai harus bolak-balik di Polres Palopo sejak pemeriksaan Juli 2025. Proyek yang dilelang melalui LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik) ini terdiri dari delapan paket pekerjaan di berbagai kecamatan, namun kini, meninggalkan risiko banjir jika tidak dilanjutkan pembangunannya mengingat pekerjaan ini dilakukan secara bertahap tentu berpotensi bagi warga dan kerugian negara yang belum tergali sepenuhnya. Selain itu, proyek rehabilitasi rumah jabatan (rujab) Wali Kota Palopo selama dua tahun berturut-turut, dengan anggaran miliaran rupiah, juga menjadi sorotan. Terkini, proyek rehab gedung Trimurti Palopo, dari pantauan dilapangan sementara dalam proses pengerjaan. Namun, dilokasi tidak didapati papan proyek, ini yang dikelola melalui LPSE, tidak transparan dalam mempublikasikan detail perusahaan pemenang, termasuk alamat perusahaan, memicu kecurigaan adanya manipulasi tender dan keterlibatan pihak-pihak tertentu. Proses LPSE yang seharusnya menjamin transparansi justru dicurigai menyembunyikan mafia tender, memperburuk citra pengadaan publik di daerah.

Bukan Anarkisme, Melainkan Jeritan Rakyat

Demonstrasi bukan perusakan semata, melainkan ekspresi keputusasaan. Kematian Affan Kurniawan dalam aksi di Jakarta adalah simbol kegagalan sistemik. Di Palopo, tuduhan bahwa pendemo dibayar Rp400 ribu untuk membuat rusuh terasa menghina akal sehat. Rakyat bukan perusuh; mereka korban sistem yang tak lagi berpihak. Menyebut mereka “anarkis” hanya menunjukkan keengganan pemerintah untuk introspeksi, apalagi ketika anggota DPR justru terlihat asyik joget di tengah krisis.

Narasi Konspirasi dan Gestur Kosong

Tuduhan “makar” atau keterlibatan asing tanpa bukti kuat hanyalah upaya mengalihkan perhatian. Kunjungan Presiden ke korban luka demonstrasi, meski tampak empatik, terasa hampa tanpa tindakan nyata. Rakyat tak butuh simbolisme, melainkan reformasi Polri, keadilan ekonomi, dan transparansi anggaran. Tanpa itu, seruan “Reset Indonesia” akan terus bergema.

Privilese Pejabat, Beban Rakyat

Gaji DPR Rp230 juta per bulan, ditambah tunjangan PPh Pasal 21 yang ditanggung APBN, adalah bukti nyata ketimpangan. Pendapatan direksi PAM TM Palopo Rp42 juta per bulan di tengah layanan buruk semakin mempertegas privilese elit. Sementara pejabat menikmati kemewahan dan anggota DPR joget-joget, rakyat berjuang memenuhi kebutuhan dasar. Klarifikasi pemerintah tak cukup meredam persepsi ketidakadilan. Jika elit hidup dalam limpahan harta, bagaimana rakyat bisa percaya pada janji “Indonesia Emas”?

Jalan ke Depan: Reformasi atau Pembangkangan

Menyalahkan rakyat sebagai “anarkis” adalah cara pemerintah menghindari tanggung jawab. Demonstrasi adalah cermin kegagalan sistem, bukan musuh yang harus dipadamkan. Reformasi Polri, penghapusan tunjangan pajak pejabat, transparansi anggaran, dan pemberantasan KKN di sektor layanan publik, termasuk institusi seperti PAM TM Palopo, proyek mangkrak, normalisasi sungai, dan rehabilitasi rujab Wali Kota, adalah langkah mendesak. Laporan polisi terkini soal dugaan korupsi direksi PAM TM dan kasus pengendapan di Polres Palopo, serta ketidaktransparanan LPSE, harus menjadi titik awal untuk audit independen, penyelidikan ketat terhadap proses tender, dan akuntabilitas penuh. Tanpa itu, pemerintah hanya menuai pembangkangan. Pejabat bukan raja, melainkan pelayan. Jika amanah dikhianati, dan yang mewakili lebih memilih joget ketimbang mendengar rakyat, jangan salahkan rakyat yang memilih melawan dengan menolak pajak dan tagihan air. Indonesia Emas bukan impian yang dibangun di atas represi, privilese, dan nepotisme, melainkan keadilan dan keteladanan. Saatnya mendengar, bukan menuduh. (RA)

Gladys Nabila Avatar

Artikel Menarik Lainnya

One response to “Pejabat Tak Amanah, Ancaman Terjadi Pembangkangan Sipil, Oleh: Sigit Nugroho”

  1. LOKITOTO Avatar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *