ACTANEWS.CO.ID – OPINI, Di zaman modern ini, kehidupan manusia tidak bisa di pisahkan dari dunia digital. Hampir setiap aspek kehidupan kini berpindah ke layar. Mulai dari bekerja, belajar, hingga beribadah dan berdakwah. Charles Ess menjelaskan bahwa etika digital adalah upaya menanamkan nilai moral tradisional ke dalam ruang online yang tnpa batas. Media sosial telah menjadi ruang baru tempat orang mengekspresikan keyakinan, pandangan, dan sikap keagamaannya. Namun, kemudahan ini sekaligus menghadirkan tantangan: apakah kita masih mampu menjaga nilai-nilai iman dan etika ketika berinteraksi di dunia maya?
Etika beragama tidak hanya berbicara tentang ibadah dan hubungan manusia dengan tuhan, tetapi juga tentang bagaimana seseorang menjaga sikap, tutur kata, dan perilaku terhadap sesama. Dalam konteks digital, etika itu di wujudkan melalui cara kita berkomentar, membagikan informasi, hingga menyebarkan pesan-pesan keagamaan. Sayangnya, banyak orang lupa bahwa ruang digital juga membutuhkan kesantunan dan tanggung jawab moral sebagaimana dunia nyata.
Dunia maya sering kali menjadi tempat ujian bagi keimana. Kita bisa dengan mudah menemukan perdebatan panas tentang agama, saling sindir antarumat, hingga ujaran kebencian yang disamapaikan atas nama kebenaran. Banyak yang merasa bebas berbicara apa saja di media sosial tanpa memikirkan dampak bagi orang lain. Padahal, dalam setiap agama di ajarkan bahwa ucapan adalah cerminan hati dan dapat membawa kebaikan atau keburukan.
Fenomena “ustadz viral” atau “influencer religi” juga menjadi cermin perubahan cara beragama di era digital. Di satu sisi, mereka mempermudah masyarakat untuk mendapatkan pengetahuan agama. Namun di sisi lain, muncul kecenderungan menjadikan agama sebagai konten hiburan yang mengajar popularitas. Akibatnya, nilai dakwah yang seharusnya membawa ketenangan justru bisa berubah menjadi ajang sensasi dan persaingan pengikut.
Selain itu, penyebaran informasi keagamaan yang tidak terverfikasi juga menimbulkan masalah baru. Banyak hoaks dan provokasi yang di kaitkan dengan ajaran agama beredar tanpa tabayyun atau klarifikasi. Hal ini dapat menimbulkan kesalahpahaman, bahkan perpecahan antarumat. Padahal, prinsip dasar dalam etika beragama adalah mencari kebenaran dan menghindari fitnah, baik di dunia nyata maupun dunia maya.
Tantangan lain yang muncul adalah perilaku riya atau pamer dalam beragama. Tidak sedikit orang mengunggah foto ibadah, sedekah, atau aktivitas keagamaan demi mendapatkan pengakuan sosial. Tindakan semacam ini dapat menggeser niat yang seharusnya ikhlas menjadi sekedar pencitraan. Dunia digital memang memberi ruang untuk berbagi, tetapi juga bisa menjebak kita dalam budaya pamer yang halus dan tak terasa.
Ketika iman bertemu layar, yang diuji bukan hanya pemahaman agama seseorang, tetapi juga pengendalian diri. Apakah kita tetap jujur, rendah hati, dan santun ketika tidak terlihat langsung oleh orang lain? Dunia digital memberi kebebasan berbicara, namun tanpa pengawasan yang nyata, kebebasan itu mudah di salahgunakan. Karena itu, dibutuhkan kesadaran moral bahwa setiap kata dan unggahan akan meninggalkan jejak digital yang abadi.
Menjaga etika beragama di media sosial berarti menanamkan nilai kasih, toleransi, dan tanggung jawab dalam setiap interaksi. Sebelum mengunggah atau berkomentar, penting bagi kita untuk bertanya: apakah ini membawa manfaat, atau justru menyinggung orang lain? Mengedepankan tabayyun sebelum membagikan informasi, mengahargai perbedaan keyakinan, dan menahan diri dari debat tanpa akhir adalah bentuk nyata keimanan di dunia digital.
Dunia maya sebenarnya bisa menjadi ladang amal jika digunakan dengan bijak. Banyak cara untuk menyebarkan nilai kebaikan, mulai dari membuat konten positif, berbagi inspirasi keagamaan, hingga saling menguatkan dalam kebaikan. Media sosial dapat menjadi sarana dakwah modern, asal di lakukan dengan niat yang tulus dan sikap yang santun. Di sinilah iman dan teknologi seharusnya saling melengkapi, bukan saling meniadakan. Pada akhirnya, menjaga etika beragama di era digital adalah bentuk tanggung jawab spiritual sekaligus sosial. Kita tidak hanya di tuntut untuk beriman, tetapi juga beradab dalam berinteraksi. Ketika iman bertemu layar, yang kita butuhkan bukan sekedar sinyal internet yang kuat tetapi juga hati yang jernih dan pikiran yang bijak. Solusinya dapat dilakukan dengan menanamkan kesadaran diri dalam bermedia sosial, menerapkan prinsip tabayyun sebelum menyebarkan informasi, serta menggunakan media digital sebagai sarana menyebarkan nilai kasih dan toleransi. Dengan langkah-langkah sederhana ini, dunia maya akan menjadi ruang penuh berkah jika setiap pengguna menjadikannya tempat menebar kebaikan, bukan kebencian. (RA)

Leave a Reply