ACTANEWS.CO.ID – OPINI, Perkembangan teknologi informasi telah mengubah cara manusia berinterkasi dan berkomunikasi. Media sosial kini menjadi ruang utama bagi Masyarakat untuk berbagi informasi, mengekspresiakan pendapat, bahkan membentuk opini public. Namun, kemudahan ini tidak selalu diiringi dengan kesadaran etika. Banyak pengguna media sosial yang terjebak dalam perilaku negatuf seperti menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, dan fitnah. Bagin umat Islam, hal ini menjadi tantangan tersendiri, sebab islam mengjarkan bahwa setiap ucapan dan Tindakan, termasuk yang dilakukan di dunia maya. Memiliki tanggung jawab moral di hadapan Allah SWT.
Hal ini sangat penting untuk dibahas. Etika tidak hanya berarti sopan santun dalam berkomunikasi, tetapi juga mencangkup nilai-nilai moral, tanggung jawab sosial, serta kesadaran spiritual dalam menggunakan media. Artikel ini akan membahas konsep etika bermedia dalam Islam dari dua sudut pandang, yaitui doktrinal (berdasarkan ajaran Al-Qur’an dan hadis) serta empiris (melihat realitas perilaku pengguna media sosial di masyarakat Muslim saat ini).
Dalam pandangan Islam, berbicara atau menyampaikan pesan bukan sekadar aktivitas sosial, melainkan bentuk amanah. Al-Qur’an dalam Surah Al-Ahzab ayat 70–71 menegaskan, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.” Ayat ini mengajarkan bahwa setiap perkataan harus mengandung kebenaran dan tidak boleh menyakiti orang lain. Prinsip ini berlaku tidak hanya di dunia nyata, tetapi juga di ruang digital, di mana tulisan dan komentar memiliki dampak yang luas.
Salah satu nilai penting dalam etika bermedia menurut Islam adalah tabayyun, yaitu sikap hati-hati dan meneliti kebenaran informasi sebelum menyebarkannya. Allah berfirman dalam Surah Al-Hujurat ayat 6: “Jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum karena kebodohan.” Nilai tabayyun ini sangat relevan dengan kondisi saat ini, di mana berita bohong atau informasi palsu dengan mudah viral di media sosial. Seorang Muslim idealnya tidak terburu-buru membagikan informasi tanpa memastikan kebenarannya.
Selain itu, Rasulullah SAW memberikan pedoman penting dalam berkomunikasi. Beliau bersabda, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini mengajarkan bahwa diam lebih baik daripada berbicara sesuatu yang dapat menimbulkan keburukan. Dalam konteks dunia digital, prinsip ini bisa diterapkan dengan cara menahan diri untuk tidak ikut dalam komentar negatif, perdebatan tidak bermanfaat, atau menyebarkan aib orang lain.
Dari sisi empiris, perilaku pengguna media sosial di kalangan masyarakat Muslim menunjukkan variasi yang menarik. Banyak pengguna yang menggunakan media untuk hal-hal positif seperti dakwah, edukasi, dan inspirasi. Namun, tidak sedikit pula yang masih menggunakan media sebagai tempat meluapkan emosi, menebar provokasi, atau mencari popularitas dengan cara yang tidak etis. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman tentang etika bermedia masih perlu ditanamkan lebih dalam, agar media dapat menjadi sarana kebaikan, bukan sumber permusuhan.
Etika bermedia juga menuntut adanya keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab moral. Islam tidak melarang umatnya untuk berpendapat, namun kebebasan tersebut harus diiringi dengan kesadaran akan akibat dari setiap ucapan atau tulisan. Dalam Islam, menjaga kehormatan diri dan orang lain merupakan bentuk ibadah. Maka, ketika seseorang menggunakan media dengan santun, jujur, dan bijak, ia sesungguhnya sedang menunaikan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan modern.
Penerapan etika bermedia juga menjadi tanggung jawab bersama, bukan hanya individu. Komunitas Muslim perlu saling mengingatkan dan mendukung terciptanya budaya bermedia yang beradab. Misalnya dengan membuat kampanye edukatif tentang tabayyun, menyebarkan konten dakwah yang menenangkan, atau melaporkan akun yang menyebarkan kebencian. Prinsip saling menasihati dalam kebaikan sebagaimana termaktub dalam Surah Al-‘Asr harus diterapkan juga di dunia digital agar media menjadi ruang yang penuh nilai positif.
Namun, penerapan nilai-nilai tersebut tentu tidak mudah. Tantangan datang dari budaya digital yang cepat, impulsif, dan terkadang dangkal. Banyak orang tergoda untuk mengejar perhatian atau popularitas tanpa mempertimbangkan dampak moralnya. Karena itu, dibutuhkan pendidikan digital berbasis nilai-nilai Islam sejak dini, baik di keluarga, sekolah, maupun lingkungan masyarakat. Dengan begitu, pengguna media tidak hanya cerdas secara teknologi, tetapi juga matang secara spiritual.
Etika bermedia dalam Islam sejatinya bukan sekadar teori, melainkan pedoman hidup yang sangat relevan dengan kehidupan modern. Prinsip-prinsip seperti kejujuran, tabayyun, dan adab berbicara menjadi kunci dalam menjaga keharmonisan komunikasi di era digital. Islam mengajarkan bahwa setiap tindakan, sekecil apa pun, akan dimintai pertanggungjawaban, termasuk setiap kata yang ditulis dan disebarkan melalui media.
Sebagai saran, setiap pengguna media, khususnya umat Islam, perlu menanamkan kesadaran bahwa aktivitas bermedia adalah bagian dari ibadah bila dilakukan dengan niat dan cara yang benar. Sebelum membagikan informasi, biasakan untuk memeriksa kebenarannya; sebelum menulis komentar, pikirkan dampaknya; dan sebelum memviralkan sesuatu, pastikan tidak ada pihak yang tersakiti. Dengan cara itu, dunia digital dapat menjadi ruang dakwah yang santun, beretika, dan mencerminkan keindahan ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin. (RA)

Leave a Reply